topbella

Friday, January 13, 2023

Everglow (Part 3)

Vio menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan mengeluarkan erangan yang tertahan saat Henry melepaskan kaos kaki dari kaki kirinya. Vio merebut gawai dari tangannya dan segera mematikannya. 


“Ibumu belum selesai berbicara” Kata Henry tenang. Pandangannya masih tertuju pada kaki Vio yang mulai membiru.


 “Syukurlah, sepertinya hanya terkilir, Ah! Bagaimana kau membiarkannya lepas dari pengawasanmu, Henry?!” Henry menatap tajam pada pemuda berambut pirang yang sedang melotot ke arahnya. 


“Apa aku seharusnya mengenalmu?” Henry menjawabnya dengan sinis.


Pemuda itu terdiam. Sepertinya dia sedang berusaha membaca ekspresi Henry dengan hati-hati. Mulutnya membuka, ingin mengatakan sesuatu, namun segera menutup kembali saat matanya beradu pandang dengan Vio. Mereka bertatapan lama sekali. 


Henry berdehem beberapa kali untuk menarik perhatian dua orang yang sedang beradu pandang itu. “Kita harus ke klinik sekarang, aku akan menggendongmu, aku sudah memanggil taxi” Katanya sambil berdiri.


“Aku masih bisa berjalan sendiri” Vio menepis tangan Henry. 


“Jangan keras kepala. Kakimu akan bertambah parah jika dipaksakan”. Vio memekik tertahan ketika pemuda dihadapannya meraih tangannya dan melingkarkannya di bahunya lalu mempobongnya tanpa peringatan. Dia meronta dan melemparkan beberapa pukulan, namun pemuda itu hanya berjalan dengan cepat menaiki tangga yang menuju ke tempat parkir.


“Namaku Reinhart” katanya dengan tenang, sambil menoleh pada Henry yang masih mematung. Mendengar itu, Henry tersentak, seperti teringat sesuatu. Dia lalu berlari menaiki tangga, melewati Reinhart dan Vio yang memandangnya keheranan.


Begitu mereka sampai di tempat parkir, Reinhart mempercepat langkahnya begitu melihat Henry membuka pintu belakang sebuah taxi. Dia menurunkan Vio perlahan-lahan agar dia tidak perlu bertumpu pada kaki kirinya. Dengan susah payah Vio beringsut masuk ke dalam taxi. Begitu Vio berhasil duduk sempurna di dalam, Henry segera menyusul masuk, duduk di samping Vio, dan menutup pintunya. 


Rheinhart mundur selangkah karena terkejut dengan tindakan Henry yang tiba-tiba itu. Vio hanya menatap Henry tak mengerti. Namun dia tidak mengatakan apa-apa. Bahkan saat taxi melaju meninggalkan Reinhart yang menatap mereka dengan khawatir dan putus asa. 


Rasanya banyak sekali yang ingin dia tanyakan, ingin dia ketahui, mengapa Henry bersikap begitu dingin pada Rheinhart padahal dia telah menolongnya, mengapa Henry tidak pernah menceritakan mengenai Rheinhart, padahal tampaknya dia mengenalnya. Mengapa Henry bersikap aneh sejak berbicara dengan ibunya tadi. 


Mengapa ibunya tidak menelponnya kembali? Henry jelas memahami situasi ini. Namun dia diam saja. Perjalanan menuju klinik. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hanya terdengar suara supir taxi yang sedang menelpon melalui pengeras suara kabel yang terpasang pada sebelah telinganya saja.

Thursday, January 12, 2023

Everglow (Part 2)

 Di waktu yang hampir bersamaan, “Astaga, Luca sangat menyukaimu, kenapa kau begitu takut padanya” Jacob mengangkat dan mendekap anjingnya dengan penuh kasih, napasnya masih terengah-engah, kaos putihnya basah oleh keringat. Mengejar Luca memang bukanlah tugas yang mudah. 

Di waktu yang hampir bersamaan, “Astaga, Luca sangat menyukaimu, kenapa kau begitu takut padanya” Jacob mengangkat dan mendekap anjingnya dengan penuh kasih, napasnya masih terengah-engah, kaos putihnya basah oleh keringat. Mengejar Luca memang bukanlah tugas yang mudah. 


“Jangan bereaksi berlebihan!” Tambahnya lagi sambil memasang tali pengaman yang ada pada punggung Luca dan berlalu menjauh begitu saja.


“Hari ini kau benar-benar sudah keterlaluan!” Seru Vio. Namun Jacob hanya mengacungkan jempolnya tanpa menoleh. Vio menatapnya tak percaya, namun memutuskan untuk berurusan dengan Jacob lain waktu saja, mereka pasti akan bertemu lagi besok.  Jacob selalu mengajak Luca berjalan pagi sehingga mereka sering kali berpapasan disekitar pantai atau taman.


“Ah!” Vio meringis ketika menapakkan kaki kirinya. Sepertinya Karena terkilir atau karena terbentur tiang tadi. Baiklah, mungkin harus menunda mengkonfrontir Jacob, sepertinya besok dia tidak akan bisa berlari pagi. Dia menunduk dan mencoba melepas sepatunya untuk memeriksa kakinya yang tidak bisa dia tapakkan.


“Vio! Kau tidak apa-apa?!” 

Vio menolah cepat ke arah pemuda yang menolongnya tadi dan menatapnya dengan tajam. Dia yakin sekali tidak pernah melihat pemuda berambut pirang ini. Rambut ikalnya terjuntai menutupi sebagian mata kanannya.


“Mana Henry?! Mengapa dia membiarkanmu dalam bahaya seperti ini?!” Suara tinggi pemuda yang tadi menolongnya membuyarkan lamunannya. 


“Oh! Kau mengenal Henry?” Vio melemparkan tatapan menelisik.  Ada sesuatu pada pemuda ini yang mengganggu pikirannya, tapi dia tidak bisa menjelaskannya. Dia agak sedikit lebih tinggi dari Henry, matanya indah, tatapannya lembut, namun tajam dan dalam, mungkin karena alis hitamnya berbaris rapi dan membuat semua yang ada di wajahnya terlihat begitu serasi. 


“Hey! Apa yang kau lakukan?!” Vio mendelik ketika pemuda itu meraih tangan kirinya, alih-alih menjawab. Pemuda itu menekan salah satu tombol di jam tangannya dengan kuat. Vio berusaha melepaskan cengkraman pemuda itu, namun tidak berhasil. Pemuda itu melepaskan tangannya setelah tulisan “SOS” muncul di layar jamnya.


Vio menghentakkan tangan kirinya dengan kuat. “Sial! Untuk apa mengirimkan sinyal SOS?! Kakiku hanya terkilir” Vio terhuyung-huyung karena kehilangan keseimbangan. Rupanya keadaan kakinya lebih parah dari yang dia pikirkan.


“Lepaskan!!” Vio berusaha memberontak ketika pemuda itu dengan sigap memapahnya ke bangku panjang di depan sebelah kanan mereka. Namun Vio akhirnya menurut saja sambil terpincang-pincang dan meringis menahan tangis. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, namun mengurungkannya karena merasakan getaran dari saku celananya. 


Dia meraih gawai itu dengan tangan kanannya sambil melemparkan tatapan Semua ini gara-gara kamu! Awas Kau! Ke arah pemuda di hadapannya yang segera memalingkan wajahnya. Matanya menatap jauh, ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari sesuatu dengan serius, atau… menunggu seseorang yang penting? 


Vio menjawab telepon dari ibunya dengan sekedarnya. Aku tidak apa-apa, hanya terkilir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tanya saja pada Henry kalau tidak percaya. Tentu saja, begitu menerima sinyal bahaya darinya, orang tuanya akan segera menghubungi Henry untuk mengkonfirmasi. Orang tuanya secara sengaja telah “menitipkannya” dalam pengawasannya, begitu dia pernah mendengar ayahnya berbicara pada Henry, sambil menepuk-nepuk pundaknya setiap kali mereka berpamktan di bandara. Namun dia tidak pernah membayangkan kejadian seperti hari ini benar-benar akan terjadi. Sulit dipercaya! Dan kenapa pemuda pirang yang tampan ini sepertinya tahu apa yang sedang dia lakukan? Wajahnya begitu lega melihat Henry datang dengan berlari kencang. 


Vio tidak sampai hati melihat nafasnya yang tersengal-sengal, namun tetap menyodorkan gawai yang dipegangnya ke hadapan Henry sambil melemparkan pandangan tidak percaya. Henry meraih gawai itu, dan berjalan menjauh, Vio tidak dapat mendengar pembicaraan Henry dan ibunya itu. Dia mengalihkan pandangan penuh selidik pada pemuda berambut pirang itu lagi. Siapa dia? apa hubungannya dengannya? Dan mengapa dia tidak merasa asing atau terancam saat berada di dekatnya?

Wednesday, January 11, 2023

Everglow (Part 1)

 Genre: Thriller, Romance, Time Travel


Jeez.. Kamu serius soal Triathlon?” Vio menatap tidak percaya ke arah sahabatnya yang sedang merentangkan kedua tangannya dan memutarnya ke kanan dan ke kiri. Hari masih gelap meski sudah pukul enam pagi di bulan Januari. Cahaya lampu jalan memantul di aspal hitam yang basah, peninggalan hujan tadi malam. 


Henry melirik sekilas, lalu memutuskan untuk mengabaikan gadis di belakangnya itu. Kini dia mengangkat kaki kirinya tinggi-tinggi, lalu mulai menghitung dengan keras.


“Delapan, tujuh, enam, lima, empph..Hey!” Henry oleng ke kanan karena Vio sengaja menyikutnya saat melewatinya. Dia menapakkan kaki kanannya ke depan dengan sigap untuk menahan beban tubuhnya. 


“Aku benar-benar akan mendaftar Ironman untuk bulan Maret nanti di Dubai!” pekiknya. Henry mendengus kesal. Tidak yakin apabila gadis berjaket ungu itu mendengarnya. Punggungnya terlihat semakin menjauh melewati pagar asrama, menuju ke taman kota. Henry memandang Vio yang berlari semakin menjauh darinya. “Henry mengeluarkan gawai pintar dari saku celananya lalu mengetikkan pesan singkat dan menekan tombol kirim dengan cepat. 


Vio memicingkan matanya untuk membaca sekilas beberapa baris tulisan kecil yang muncul di layar jam tangannya “Jangan sampai lewat pukul delapan!” Vio hanya memutar bola matanya. Tentu saja dia ingat telah berjanji membantu Henry menyusun buku-buku yang telah memenuhi tiga keranjang pengembalian. Henry harus segera menyelesaikannya hari ini sebelum pemeriksaan oleh Ketua Perpustakaan. Vio ingat bagaimana Henry memohon untuk mendapatkan pekerjaan sambilan itu sebagai bukti dan bentuk tanggung jawab pada para pemberi beasiswa pendidikannya, yaitu orang tuanya sendiri. Betapa konyolnya alasan itu, mengingat orang tua Henry begitu hangat dan murah hati, setidaknya begitu yang Vio ingat setiap kali bertemu mereka pada musim liburan. 


Vio tersenyum geli memikirkan keisengan yang tiba-tiba terlintas dibenaknya, mungkin dia akan berlari lebih jauh dari biasanya hari ini untuk menggoda Henry. Dia  berbelok ke kiri di tikungan yang memisahkan asrama kampus mereka dan taman kota, dia akan memutar lebih jauh, mengambil jalur pantai dan gedung-gedung apartemen, dibelah oleh kanal yang indah.


Orang tua mereka bekerja di perusahaan yang sama meski berbeda departemen. Mereka telah saling mengenal dan bersahabat sejak berusia lima tahun. Keluarga mereka berpindah dari satu negara ke negara lainnya dengan rentang jarak yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, saat ayah Vio dipindah tugaskan ke Ecuador, ayah Henry juga dipindahkan ke sana beberapa bulan berikutnya.


Vio memperlambat larinya saat melihat seekor anjing putih berlari mendekatinya. 

“Kau harus berlari lebih kencang darinya, Jacob!” Vio memutar ke kiri, menjadikan bangku taman sebagai perisai untuk menghindari anjing kecil yang terus saja melompat-lompat ke arahnya.


“Mengapa kau tidak memasang talinya?!” Vio mencengkeram pagar pembatas Kanal yang airnya biru kehijauan. Begitu jernih, sejernih mata anjing kecil putih yang kini melompat ke arahnya. Kaki Vio gemetar saat berusaha memanjat pagar besi. 

“AAKKH!!” Satu kaki Vio terpeleset, masuk ke sela-sela pagar pembatas sampai ke lututnya. Tubuh kurusnya melengkung tersangkut pagar paling atas, tangannya kirinya berayun-ayun ke belakang, sementara tangan kanannya masih mencengkeram pagar sekuat tenaga. 


“Jangan bergerak!” Seru seorang pemuda yang entah muncul dari mana. Dia mengulurkan tangannya dan menarik tubuh Vio sehingga dia tidak tercebur ke dalam kanal. Kaki kanan Vio yang tersangkut tersentak dengan kuat, menghantam palang pagar yang melintang. “Akhirnya aku menemukanmu, kita harus segera pulang“ Mata pemuda itu berkaca-kaca menatap Vio yang masih meringis kesakitan. 


“Terima kasihhhHey! Lepaskan!” Vio mendorong pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari kanal itu. Pemuda itu terhuyung ke belakang, matanya melotot galak tak percaya. Apa pemuda itu baru saja akan memeluknya, yang benar saja. Dan apa maksud perkataannya barusan?



Tuesday, January 10, 2023

Evaluasi Diri Minggu Pertama

 Saat memulai menantang diri untuk menulis setiap hari sejumlah tiga ratus kata, saya telah membayangkan betapa sulitnya nantinya. Saya membayangkan kalau saya akan terseok-seok dalam menceritakan sesuatu, dan akan merasa bersalah pada diri sendiri seperti yang selalu terjadi sebelumnya. Saya terlalu mencintai dunia tulis-menulis ini, sampai takut menyakiti diri sendiri dengan mendapatkan nilai yang jelek saat evaluasi di bulan pertama.


Alhamdulillah, selama satu minggu ini, saya menurunkan ekspektasi pada diri sendiri. Saya memahami kemampuan saya masih jauh dari yang saya harapkan, maka saya dengan rendah  hati menerima hasil tulisan saya. Saya berusaha sekuat tenaga hanya menuliskan apa yang ada di kepala saya, mengetik kata demi kata di papan tombol laptop saya yang berwarna merah. Saya mengaktifkan perangkat pengoreksi ejaan otomatis, sehingga saya tidak perlu membaca ulang apa yang telah saya tuliskan, hal ini demi mengurangi kekecewaan saya apabila cerita yang saya memiliki alur yang tidak masuk akal, misalnya. Saya hanya membaca ulang dengan cepat, tanpa merasa tertekan dan terintimidasi pada kualitas tulisan saya. 


Saya menyadari, tantangan tiga ratus kata per hari ini, bukan saja untuk membentuk kebiasaan menulis, tapi juga sebagai latihan dalam mengejawantahkan ide-ide di dalam kepala dan hati kita ke dalam tulisan yang lebih tersusun dan tertata. Semoga saja, minggu-minggu selanjutnya, kemampuan saya akan semakin meningkat. Semoga tulisan saya nantinya semakin memikat. Semoga saya bisa keluar dari belenggu dari diri saya sendiri yang mengikat.


Dengan kesulitan yang masih sama, situasi dan kondisi yang tidak berubah, rupanya saya mampu melewati satu minggu pertama ini, tidak dengan mudah, namun juga bukan sesuatu yang tidak mungkin saya lalui. Saya merasa masih juga belum menemukan waktu dan ritme menulis yang paling nyaman, yang untuk sementara saya baikan. Toh, ternyata saya bisa menulis saat sedang menunggu suami melakukan pemeriksaan kesehatan, buat saya ini mengagumkan. Perlahan tapi pasti, tembok tinggi yang saya bangun ini, harus saya kalahkan.



Monday, January 9, 2023

Raquel

 “Madam, please make time for me on Saturday, we need to talk”

Pesan singkat dari Raquel membuat saya berfikir keras. Hal apa yang ingin dibicarakannya, mengapa terdengar begitu mendesak dan penting. Apakah ini soal anaknya di Filipina yang terbaring koma di Rumah Sakit di kotanya sana? Apakah ada perkembangan terbaru mengenai keadaannya? 


Ataukah mengenai Mbak Rika yang kami temui tempo hari saat sedang berolah raga pagi di taman? Raquel memperkenalkan saya pada Mbak Rika yang sedang menangis sambil menceritakan betapa tidak bahagianya dia bekerja dengan majikannya,  setiap tetes air matanya menggambarkan betapa sedih hatinya, namun saya tidak tahu bantuan jenis apa yang diharapkannya, sehingga saya dan Raquel hanya mendengarkan ceritanya dan berusaha menenangkannya.


Di Abu Dhabi, negara tempat kami tinggal saat ini. Jumlah pekerja migran yang berasal dari Filipina mencapai tujuh belas persen, terbanyak kedua setelah India yang mencapai tiga puluh persen, ya, bahkan lebih banyak sepuluh persen dari pada penduduk asli (Emirati)  yang hanya sebesar dua puluh persen. 


India memiliki jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, tentu kita merasa “wajar” apabila kemanapun kita pergi, akan bertemu dengan sebagian dari warga negaranya. Mulai dari pekerja profesional, sampai penjaga toko ataupun pembantu rumah tangga, mereka terkenal memiliki etos kerja yang tinggi, pemberani (cenderung nekad), pekerja keras dan mau melakukan apa saja, dengan bayaran yang tidak terlalu tinggi. Bukan itu saja, faktor sejarah juga mempengaruhi besarnya keberadaan warga negara India di Abu Dhabi ini.


Berbeda dengan pekerja asal Filipina, selain alasan ekonomi, tentu saja, seperti jamaknya alasan para pencari nafkah pada umumnya, mental dan budaya merantau yang saya rasa lebih istimewa lagi. Saya terkagum-kagum mendengar cerita Raquel bahwa sekolah keperawatan menjadi begitu populer di Filipina karena menjadi jalan untuk bekerja di luar negara. Buat saya, pola pikir semacam ini, dapat meningkatkan kualitas pendidikan kedepannya. Kenyataannya jumlah perawat asal Filipina memang sangat banyak jumlahnya. Raquel sendiri, datang ke Abu Dhabi untuk menjadi pembantu rumah tangga. Saat sabtu dan minggu, Raquel menyempatkan diri mengambil kursus singkat untuk mendapatkan sertifikat menjadi seorang Nanny (Khusus untuk merawat/menjaga anak). 


Saya akan menunggu dengan sabar, apa yang ingin dibicarakan oleh Raquel di hari Sabtu selepas dia pulang dari sekolahnya. 


Sunday, January 8, 2023

Panti Jompo? No?!

 Bagi ibu-ibu diaspora, bertemu sesama wanita, setelah anak-anak naik bis sekolah dan suami berangkat bekerja, menjadi Me Time yang berharga. Terkadang kami berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan walau hanya sekedar mencuci mata, lalu duduk di cafe untuk memesan kopi dan mengganjal perut sekedarnya, atau saat musim dingin tiba, tak jarang juga kami hanya duduk-duduk santai di taman sambil menikmati cuaca. 


Tema obrolan kami bisa apa saja, bergantung pada sedang bergabung dengan kelompok apa yan berkumpul saat itu. Kelompok ibu-ibu pengajian, biasanya membahas perkembangan anak, tantangan pendidikan di jaman yang terus berkembang, bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga, ehem! Tentu saja semua berdasarkan ilmu agama😉, lalu apakah ada informasi terbaru dan tips-tips menjalankan ibadah haji/ Umrah, dan lain sebagainya 😎.


Lain lagi dengan kelompok olah raga, tema obrolan berkisar pada penambahan/ pengurangan jadwal latihan, iuran yang harus dibayarkan untuk membayar instruktur/ pelatih selama persiapan pertandingan kejuaraan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, desain seragam yang diinginkan, menu snack dan makan siang setelah pertandingan, dan masih banyak lagi 🥰.


Masih ada beberapa kelompok lagi yang aktif di kalangan ibu-ibu, ada kelompok sosialita yang menjadi rujukan fashion dan tempat belanja serta waktu-waktu diskon brand ternama. Kelompok memasak adalah sekelompok wanita perkasa penuh talenta, pahlawan bagi lidah dan perut yang merindukan makanan berempah khas nusantara. 


Beberapa waktu lalu, disalah satu pertemuan mingguan kami, saya lupa tepatnya kelompok yang mana 🤭, sambil menyeruput kopi, salah satu kawan saya mengutarakan keinginanya untuk menghabiskan masa pensiun di sebuah fasilitas pemeliharaan untuk para orang tua. 


Pada mulanya, saya melihat beberapa kawan yang lain mengernyitkan dahinya, dan saya menatapnya penuh tanda tanya, melihat reaksi kami itu, dia seperri sudah menduganya, dengan bersemangat dia menunjukkan beberapa artikel mengenai Retirement Home Center yang dikelola oleh pihak swasta (bukan milik pemerintah seperti Panti Wreda atau Panti Jompo pada umumnya). 


Kami semua terkagum-kagum dengan beberapa fasilitas yang ditawarkan di sana, selain spa dan salon, ada juga klub kebugaran, lengkap dengan pelatih yoganya, lapangan golf lengkap dengan danau dan taman bunga, jogging track dan jalur sepeda juga ada, bukan hanya itu saja, kegiatan menjahit, berkebun, memancing bahkan ada jadwal untuk berwisata bersama. 


Diskusi panjang pun terjadi, sepertinya gagasan kawan saya itu sangat menginspirasi beberapa dari kami. Iuran bulanan dapat dibayarkan dari uang pensiunan. Anak-anak bebas berkunjung, dan menghilangkan rasa cemas dari hati mereka, karena fasilitas kesehatan yang lengkap dan dipantau oleh dokter selama dua puluh empat jam. Kami mulai tertawa membayangkan betapa ramainya kami nanti apabila berkumpul bersama di sana. 


Nyatanya, terkadang kita hanya perlu membuka hati dan pikiran, menyematkan pemahaman pada perbedaan, siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada masa depan.

Saturday, January 7, 2023

Manusia yang Melelahkan

 Di dunia ini, ada beberapa macam jenis manusia. Ada yang ramah, mudah tersenyum dan siap menyapa siapa saja yang ditemuinya. Seakan-akan setiap jalan yang dilaluinya adalah taman bunga yang semerbak aromanya, wangi dan membuat hati menjadi bahagia ketika melewatinya. Tidak peduli bagaimana mendungnya hati kita, begitu mata kita beradu pandang, dan dia melemparkan senyuman mautnya, otak kita seakan-akan otomatis memerintahkan bibir kita untuk membalas senyuman itu, semanis yang kita bisa. Dia seperti vitamin yang memberikan energi bagi jiwa yang lelah, menyirami hati yang kosong, menumbuhkan bibit kebahagiaan. Seperti hujan yang hadir tiba saat matahari sedang terik-teriknya, seperti angin yang menyibak mendung begitu saja. Tatapan matanya yang ceria seakan-akan mengatakan kalau kita akan baik-baik saja. Bahwa kalut pikiran yang membuat air mata hampir tumpah bukanlah segalanya. 


Saya juga pernah bertemu dengan manusia yang begitu anggun dan berwibawa. Sikapnya tenang, sorot matanya tajam dan dalam. Manusia jenis ini akan banyak mendengar, membiarkan kita mengomel sampai kehabisan kosa kata, puas mengeluarkan sampah yang menyesakkan dada.  Dia tidak banyak bicara, namun diamnya adalah hal yang paling dibutuhkan saat gundah gulana melanda.


Ada juga manusia yang ekspresif, meledak-ledak seperti kembang api yang memiliki banyak warna. Suaranya keras memekakkan telinga. Membangkitkan aneka rasa bagi yang melihatnya.  Ada yang antusias menantikan kejutan selanjutnya, euphoria tiada tara. Namun selalu saja ada kesedihan yang mengikutinya, cemas dan khawatir akan percikan panasnya. Harga yang harus dibayar sering kali terlalu mahal, menyilaukan mata.


Saat masih duduk di sekolah menengah pertama, saya sedang dalam proses pencarian jenis manusia yang paling istimewa. Saya ingin menjadi manusia yang seperti itu nantinya. Saya hanya ingin membuat orang lain bahagia. Saya tidak ingin ada manusia lain yang merasa sedih karena perbuatan atau perkataan saya. Saya membayangkan menjadi manusia yang memiliki hati seluas samudra, welas asih, pengertian, bahkan hanya kerlingan matanya mampu menghilangkan duka lara. Lalu saya menuliskan hasil pencarian saya itu di halaman terakhir buku catatan saya yang berwarna ungu, “Manusia begitu lemah dan bodoh”.


  


Friday, January 6, 2023

Mom, Temanku Bilang Dia G*Y (Bagian Keempat)

 


Pendidik Anak sesuai jaman

Keadaan kami yang jauh dari sanak saudara, tanpa rutinitas masjid, sedangkan pendidikan agama di sekolah hanya terangkum dalam pelajaran sosial dan sejarah dunia. Namun demikian, saya tidak boleh berputus asa. Mendengar cerita anak-anak mengenai teman laki-laki mereka yang memakai rok “tutu” dan membaca buku yang hampir dibawa pulang oleh si bungsu, menyadarkan saya. Saya harus bergegas. Saya tidak boleh lengah sedikitpun. 


Fitrah anak-anak adalah kebaikan. Lalu bagaimana saat mereka berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan norma, agama, dan prinsip serta nilai-nilai yang dianut?

Saya ingin anak-anak saya memiliki cita-cita yang tinggi, bertebaran di bumi Allah yang luas, bermanfaat bagi kemajuan dunia, dimanapun mereka berada nantinya. Berangkat dari pemikiran seperti itu, artinya saya harus menguatkan pondasi dari dalam. Tidak membuat mereka “steril” dari fitnah dunia, namun menjadi “imun”. Seperti do’a yang selalu saya panjatkan untuk mereka “Menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”.  


Bertemu dengan banyak orang, dari berbagai kalangan, latar belakang, suku, agama, adat-istiadat, kebiasaan, beragam bahasa dan warna kulit yang berbeda, harusnya menambah risalah dan kedalaman jiwa.  Mengatakan dengan berani “Saya menghormati pilihanmu, namun agama saya melarang itu, kita memahami bahwa kita berbeda, mari saling menghargai” adalah salah satu yang harus ditanamkan dengan kuat kepada anak-anak. 


Kini semakin banyak pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh mereka. Diantaranya,

“Bukankah pemeluk agama lain juga sangat mempercayai agama mereka yang paling benar? Lalu bagaimana aku bisa yakin bahwa akulah yang lebih benar?”. Percayalah, semua orang tua mengalami hal yang sama. Naluri anak-anak untuk mengetahui banyak hal, juga dialami oleh orang tua yang lain. 


Suatu hari, saat dijemput oleh ibunya, salah satu kawan anak saya bertanya dengan antusias sambil berlari menyambut ibunya saat saya membukakan pintu 

“Apa agama kita?”

“Kita tidak beragama” Jawab ibunya yang nampak sedikit terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu.

“Lalu apa yang kita percayai?” Tanya anak itu lagi dengan mata yang keheranan.

“Oh, kita percaya pada diri kita sendiri” Ibunya berjongkok dan membelai rambutnya yang hitam mengkilat.


Thursday, January 5, 2023

Mom, Temanku Bilang Dia G*Y (Bagian Ketiga)

 

Saya memahami bagaimana dunia “menyimpang” tersebut telah begitu merajalela. Propaganda yang mereka lalukan sungguh masif, disemua bidang, dari segala sisi. Merambah sampai ke bidang yang saya rasa “tidak masuk akal” sekalipun. Dengan kekuatan seperti itu, seakan-akan semua pihak berlomba-lomba menunjukkan dukungan mereka kepada golongan ini.


Entah apa yang terjadi, hal yang dulunya tabu dan memalukan, berubah menjadi tren dan bagian dari “gaya hidup” modern. Logo mereka dapat ditemui dimana saja. Label makanan, perusahaan terkemuka, sampai tokoh olah raga, dengan bangga menyematkan warna pelangi, sebagai aksesori dan dukungan, atau mereka menyebutnya dengan “pemahaman” yang sejatinya sama saja untuk saya.


Saya sungguh tidak menyangka, betapa dekatnya fitnah dunia yang satu itu, menjangkau sampai ke pusat pendidikan anak-anak saya. Suatu hari, guru pendamping anak bungsu saya menyodorkan satu buku pilihan untuk dibawa pulang sebagai salah satu pekerjaan rumah yang harus dibaca dan diceritakan kembali oleh anak saya pada minggu berikutnya. 


Parents” kurang lebih demikian judul yang tertera di sampul bukunya yang berwarna kuning keemasan. Napas saya tertahan sejenak melihat sampul buku yang menampilkan tiga lingkaran mengitari tulisan keemasan itu. Lingkaran pertama diisi oleh dua orang wanita yang saling tersenyum berhadapan, lalu lingkaran kedua adalah gambar dua orang pria yang saling bergandengan tangan, lingkaran ketiga di sudut kanan atas, ada seorang lelaki dan seorang perempuan yang sedang melambaikan tangannya. Demi sopan-santun, saya tetap menjaga ekspesi saya dihadapan Mrs. Oslon yang hari ini begitu manis atasan merah muda. 


“Boleh saya lihat sebentar” tanya saya sambil meraih buku dari tangannya.

“Tentu saja, saya sengaja memperlihatkannya kepada anda. Saya ingin meminta pendapat anda  terlebih dahulu” jawabnya, matanya menatap saya penuh arti. Mrs. Olson adalah istri kepala sekolah ini, mereka telah tinggal di negara ini cukup lama. Saya yakin mereka memahami bagaimana budaya, adat istiadat dan norma-norma, bahkan agama memiliki aturan yang ketat.

Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pengertiannya. Setelah membaca cepat buku delapan halaman penuh gambar tersebut. Saya lalu mengembalikannya kepada Mrs. Olson dengan menggeleng. Saya meminta maaf dan karena buku itu tidak saya aperkenankan untuk dibaca oleh anak saya yang baru berusia enam tahun. Belum saatnya, begitu saya menjelaskan secara singkat padanya. 

“Ya, akan datang saatnya nanti” Mrs. Olso mengedipkan matanya.

Oh Tidak! Pikir saya.


Wednesday, January 4, 2023

Mom, Temanku Bilang Dia G*Y (Bagian Kedua)

Penyuara telinga sudah menjadi sahabat baik saya. Saya memiliki beberapa ustaz dan ustazah favorit dengan gaya penyampaian serta tema kajian yang berbeda-beda, sesuai dengan keahlian dan bidang ilmu yang mereka miliki.  


Mendengarkan rekaman saja, terkadang tidak saya rasa cukup. Maka saya mulai mencari perkumpulan pengajian sesama pejuang diaspora. Walau terpisahkan oleh jarak, ternyata semangat sahabat-sahabat baru itu sangat menginspirasi saya. Begitulah fitrah manusia, keinginan untuk terus belajar dan menuntut ilmu, hanya dihentikan oleh kematian. Sedikit demi sedikit, pengajian daring  yang saya ikuti, mampu mengobati rasa rindu pada bagian belakang masjid di kampung halaman. 


Saya juga mulai mengikuti beberapa kelas daring dengan keperluan yang berbeda-beda. Kelas pengasuhan anak, kelas pengembangan diri, dan beberapa perkelasan lainnya. Menuntut ilmu secara daring telah saya lakukan beberapa tahun sebelum wabah covid terjadi, mungkin itu sebabnya, saya dan keluarga tidak begitu merasa kesulitan dengan metode belajar jarak jauh yang diterapkan pada saat pandemi melanda. 


Pernah saya merasa tidak adil terhadap anak-anak. Mereka hanya dapat merasakan keseruan belajar mengaji bersama di masjid hanya saat kami mengunjungi kerabatnya di Indonesia. Tapi perasaan itu segera saya tepis dengan rasa syukur yang tidak ada habisnya untuk semua karunia yang telah Allah berikan kepada kami. 


Kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan, latar belakang, bahkan agama yang berbeda, dapat hidup dan menapaki bumi Allah yang luas bukanlah milik semua orang. Namun demikian, pengalaman berharga ini  juga memiliki konsekuensi yang harus diterima dan dihadapi dengan hati yang ikhlas, pikiran yang jernih, dan do’a yang tak boleh putus. 


Salah satu tantangan yang perlahan mulai membuka mata, ketika saya menjemput anak-anak pulang sekolah. Dengan antusias mereka bercerita mengenai anak laki-laki yang baik hati, lemah lembut saat bermain, dan selalu memakai pakaian yang “menarik”, ya, itulah kata yang anak-anak saya gunakan. Anak laki-laki itu terkadang mengenakan rok pendek bermanik-manik di setiap sisinya, pernah juga dia ke sekolah dengan gaun berenda. Bahkan Anak perempuan saya pernah juga mengomentari kaos bergambar kuda poni berwarna-warni yang sama dengan miliknya.


Tuesday, January 3, 2023

Mom, Temanku Bilang Dia G*Y (Bagian Pertama)


Sejak kecil, setiap sore, orang tua telah membiasakan saya untuk pergi mengaji ke masjid. Rumah kami berada tepat di hadapan masjid yang menjadi pusat kegiatan keagamaan di daerah kami. Sepertinya sudah menjadi tradisi bagi keluarga kami untuk mencari atau membangun rumah di sekitar masjid. Seingat saya, seluruh paman dan bibi, bahkan kakek dan nenek pun tinggal dekat dengan masjid di daerahnya masing-masing. 


Selepas Salat Asar, dengan masih mengenakan mukena dan sarung, saya dan teman-teman seumuran telah duduk berjajar di hadapan seorang guru. Ada beberapa kelompok berdasarkan umur, setiap kelompok terdiri dari lima sampai sepuluh anak. Ada lebih dari empat kelompok, saling bersahutan mengaji, atau menyebutkan rukun iman, atau melafalkan do’a-do’a dengan riang, di bagian belakang masjid yang luas. 


Masjid benar-benar menjadi pusat kegiatan belajar dan mengajarkan ilmu agama. Setiap harinya, masjid di depan rumah kami selalu ramai dengan kegiatan pengajian, berbeda-beda waktu berdasarkan usianya, silih berganti, hingga malam tiba.


Saya sangat bahagia dengan semua kenangan indah itu, dan bersyukur kepada semua guru yang menanamkan nilai kebaikan yang menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan. Saya tidak pernah menyangka akan sangat merindukan, riuh rendah kebersamaan yang kini hanya dapat saya rasakan setahun sekali, ketika liburan ke kampung halaman.


Lebih dari sepuluh tahun merantau di luar Indonesia, berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Hidup jauh dari rutinitas masjid yang penuh suka cita dengan seluruh kegiatan keagamaannya. Bahkan mengalami keadaan sebagai minoritas, sampai ditahap bisa mendengarkan suara azan hanya dari jam dinding yang mengeluarkan seruan untuk salat secara otomatis apabila sudah waktunya saja. Tentu saja perubahan ini awalnya sangat berat untuk saya.


Hati saya rasanya kering, jiwa saya kerontang dan haus akan siraman ilmu yang mengingatkan pada nilai luhur, kebaikan, pada sejarah, pada kemilau masa lampau yang penuh peradaban, dan pada kehidupan setelah kematian. Alhamdulillah, kekuatan jaringan telekomunikasi di setiap negara yang saya tinggali sangat memuaskan, saya dapat mendengarkan kajian dari gawai yang menyiarkan rekaman. Saya dapat melakukannya sambil membersihkan rumah, atau saat berada di dalam kendaraan. 


About Me